Jakarta, CNBC Indonesia – Beban utang luar negeri Indonesia berpotensi bengkak, imbas dari terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah bahkan telah diperdagangkan di kisaran Rp 16.200 sejak kemarin, level tertinggi sejak empat tahun lalu saat pertama kali Covid-19 merebak di Tanah Air.

Ekonom Senior yang juga merupakan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mari Elka Pangestu mengatakan, kondisi itu akan terjadi terutama terhadap utang luar negeri pemerintah yang berdenominasi rupiah. Menyebabkan beban pengeluaran atau belanja pemerintah berpotensi ikut bengkak.

“Pelemahan rupiah tentunya pengaruh ke harga BBM, dan pengaruhi ke pengeluaran serta defisit. Di luar itu tentunya kepada utang, kalau kita lihat pembayaran dari utang luar negeri kita dalam bentuk rupiah juga akan meningkat, jadi smeua ini akan pengaruhi dari sisi pengeluaran di APBN kita,” kata Mari dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, dikutip Rabu (17/4/2024).

Meski begitu, Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan membantah bahwa bebang bunga utang dan cicilan utang akan terdampak signifikan dari terus melemahnya nilai tukar rupiah tersebut. Terutama disebabkan kupon yang Surat Berharga Negara (SBN) mayoritas berbentuk kupon tetap atau fixed rate.

“Mostly SBN kita kan fixed rate, jadi tidak terlalu berdampak,” kata Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kementerian Keuangan Deni Ridwan.

Komposisi utang pemerintah sendiri memang sejauh ini mayoritas didominasi oleh SBN Domestik. Dari total posisi utang per akhir Februari 2024 yang sebesar Rp 8.319,22 triliun, mayoritas berupa utang melalui penerbitan SBN senilai Rp 7.336,87 triliun, sisanya berupa pinjaman sebesar Rp 982,35 triliun.

Untuk total SBN itu mayoritas berupa SBN Domestik senilai Rp 5.947,95 triliun, sedangkan SBN dalam bentuk valuta asing atau valas sebesar Rp 1.388,92 triliun. Adapun yang dalam bentuk pinjaman mayoritas berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 946,9 triliun, sisanya pinjaman dalam negeri Rp 35,45 triliun.

Meski potensi beban utang dan cicilan tidak akan terlalu terdampak dari pelemahan nilai tukar rupiah saat ini, Deni mengakui bahwa imbal hasil SBN tenor 10 tahun saat ini tengah melonjak. Lonjakan imbal hasil atau yield SBN menandakan harga SBN tengah jatuh karena banyak investor yang melepas SBN.

Deni mengatakan, lonjakan SBN itu disebabkan sentimen negatif investor terhadap kondisi eksternal, seperti semakin panasnya tensi konflik geopolitik di Timur Tengah serta kebijakan moneter bank sentral AS atau The Federal Reserve yang masih hawkish atau masih enggan menurunkan suku bunga acuannya.

Dilansir dari Refinitiv, imbal hasil SBN pada Selasa per pukul 11:50 WIB mengalami lonjakan signifikan23,7 basis points dari 6,643% pada penutupan perdagangan kemarin. Imbal hasil ini merupakan yang tertinggi sejak 14 November 2023 atau sekitar lima bulan terakhir.

Sementara itu, imbal hasil surat utang AS atau yield US Treasury 10 tahun kata Deni juga telah menyentuh level 4,7% yang merupakan level tertinggi sejak 2 November tahun lalu.

“Sentimen masih dipengaruhi oleh kuatnya penjualan ritel, inflasi yang sticky, dan sektor labour yang masih cukup robust. Hal ini membuat the Fed masih akan dipertahankan suku bunga untuk jangka waktu yang lebih lama atau higher for longer,” tutur Deni.

Dengan mempertimbangkan kondisi kas Pemerintah yang masih cukup memadai atau ample, Pemerintah menurut Deni masih memiliki fleksibilitas dalam penerapan strategi pembiayaan, baik dari sisi timing, size, maupun currency mixed nya.

“Selain itu, Pemerintah juga terus memonitor kondisi market secara seksama dan meningkatkan koordinasi dengan otoritas keuangan lainnya untuk menjaga stabiltas pasar keuangan domestik,” ungkap Deni.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Bank Dunia Blak-blakan Ancaman Krisis Utang, Begini Posisi RI


(haa/haa)




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *